Budaya Jawa Barat: Keajaiban yang Mempesona
Budaya Jawa Barat, disingkat Jabar adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian barat pulau Jawa, dengan ibu kota provinsi di Kota Bandung. Jawa Barat berbatasan dengan provinsi Banten dan wilayah ibu kota Jakarta di sebelah barat, Laut Jawa di utara, Provinsi Jawa Tengah di timur, dan Samudera Hindia di sebelah selatan. Bersama dengan Provinsi Banten, Jawa Barat disebut sebagai Tatar Sunda atau Pasundan karena merupakan kampung asli masyarakat Sunda, suku terbesar kedua di Indonesia.
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya akan budaya dan tradisi. Terletak di pulau Jawa, provinsi ini memiliki kekayaan budaya yang beragam dan mempesona. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi beberapa aspek budaya Jawa Barat yang unik dan menarik.
Geografi
Provinsi Jawa Barat berada di bagian barat Pulau Jawa. Wilayahnya berbatasan dengan Provinsi Banten, Provinsi DKI Jakarta, dan Laut Jawa di sebelah utara, Provinsi Jawa Tengah di sebelah timur, Samudra Hindia di sebelah selatan, serta Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta di sebelah barat.
Kawasan pantai utara merupakan dataran rendah. Di bagian tengah merupakan pegunungan, yakni bagian dari rangkaian pegunungan yang membujur dari barat hingga timur Pulau Jawa. Titik tertingginya adalah Gunung Ciremai, yang berada di perbatasan antara Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka. Sungai-sungai yang cukup penting adalah Sungai Citarum dan Sungai Cimanuk, yang bermuara di Laut Jawa.
Iklim
Iklim di Jawa Barat adalah tropis, dengan suhu terendah tercatat yang dapat mencapai 9 °C di Puncak Gunung Pangrango dan tertinggi tercatat yang dapat mencapai 34 °C di Pantai Utara. Curah hujan rata-rata mencapai 2.000mm per tahun di seluruh provinsi.[butuh rujukan] Adapun curah hujan di beberapa tempat di daerah pegunungan berkisar antara 3.000mm sampai 5.000mm per tahun.
Sejarah
Temuan arkeologi di Anyer menunjukkan adanya budaya logam perunggu dan besi sebelum milenium pertama. Gerabah tanah liat prasejarah zaman buni (Bekasi kuno) bisa ditemukan merentang dari Anyer sampai Cirebon.
Wilayah Jawa Barat pada abad ke-5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara banyak tersebar di Jawa Barat. Ada tujuh prasasti yang ditulis dalam aksara Wengi (yang digunkan dalam masa Palawa India) dan bahasa Sansakerta yang sebagian besar menceritakan para raja Tarumanagara.
Runtuhnya Kerajaan
Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara, kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Kali Serayu dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Salah satu prasasti dari zaman Kerajaan Sunda adalah prasasti Kebon Kopi II yang berasal dari tahun 932. Kerajaan Sunda beribu kota di Pakuan Pajajaran (sekarang kota Bogor).
Pada abad ke-16, Kesultanan Demak tumbuh menjadi saingan ekonomi dan politik Kerajaan Sunda. Pelabuhan Cerbon (kelak menjadi Kota Cirebon) lepas dari Kerajaan Sunda karena pengaruh Kesultanan Demak. Dan ini kemudian tumbuh menjadi Kesultanan Cirebon yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Pelabuhan Banten juga lepas ke tangan Kesultanan Cirebon dan kemudian tumbuh menjadi Kesultanan Banten.
Untuk menghadapi ancaman ini, Sri Baduga Maharaja, raja Sunda saat itu, meminta putranya, Surawisesa untuk membuat perjanjian pertahanan keamanan dengan orang Portugis di Malaka untuk mencegah jatuhnya pelabuhan utama, yaitu Sunda Kalapa (sekarang Jakarta) kepada Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak. Pada saat Surawisesa menjadi raja Sunda, dengan gelar Prabu Surawisesa Jayaperkosa, dibuatlah perjanjian pertahanan keamanan Sunda-Portugis, yang ditandai dengan Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal atau dikenal dengan Padrão Sunda Kelapa , ditandatangani dalam tahun 1512. Sebagai imbalannya, Portugis diberi akses untuk membangun benteng dan gudang di Sunda Kalapa serta akses untuk perdagangan di sana. Untuk merealisasikan perjanjian pertahanan keamanan tersebut, pada tahun 1522 didirikan suatu monumen batu yang disebut padrão di tepi Ci Liwung.
Perjanjian Pertahanan
Meskipun perjanjian pertahanan keamanan dengan Portugis telah dibuat, pelaksanaannya tidak dapat terwujud karena pada tahun 1527 pasukan aliansi Cirebon–Demak, dibawah pimpinan Fatahilah atau Paletehan menyerang dan menaklukkan pelabuhan Sunda Kalapa. Perang antara Kerajaan Sunda dan aliansi Cirebon–Demak berlangsung lima tahun sampai akhirnya pada tahun 1531 dibuat suatu perjanjian damai antara Prabu Surawisesa dengan Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon.
Dari tahun 1567 sampai 1579, dibawah pimpinan Raja Mulya, alias Prabu Surya Kencana, Kerajaan Sunda mengalami kemunduran besar dibawah tekanan Kesultanan Banten. Setelah tahun 1576, kerajaan Sunda tidak dapat mempertahankan Pakuan Pajajaran (ibu kota Kerajaan Sunda), dan akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Zaman pemerintahan Kesultanan Banten, wilayah Priangan (Jawa Barat bagian tenggara) jatuh ke tangan Kesultanan Mataram.
Jawa Barat sebagai provinsi otonom ditetapkakn pada tahun 1926 ketika pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Penetapannya dalam rangka pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi pemerintahan. Status ini secara resmi ditetapkan pada tanggal 1 Januari 1926 melalui staatsblad (lembar negara) nomor 326 pada tahun 1926. Kemudian ditetapkan lagi dalam staatsblad nomor 27, 28 dan 438 pada tahun 1928, dan staatsblad nomor 507 pada tahun 1932.
Terbentuknya Provinsi Jawa Barat
Pembentukan provinsi Jawa Barat merupakan pelaksanaan Bestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Soendalanden (Tatar Soenda) atau Pasoendan, sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.
Pada 17 Agustus 1945, Jawa Barat bergabung menjadi bagian dari Republik Indonesia. Ibukota Jawa Barat berpindah silih berganti. Ibukota Jawa Barat yang mula-mula ditempatkan di Bandung pada 19 Agustus 1945 dipindah ke Indihiang, Tasikmalaya pada 21 Juli 1947. Selang beberapa hari kemudian,[butuh rujukan] ibukota Jawa Barat dipindah dari Indihiang ke Lebak Siuh lalu ke Culamega kemudian ke Tawangbanteng. Raden Mas Sewaka kemudian ditangkap Belanda dalam Agresi Militer Belanda I.
Perpindahan Ibu Kota
Ibukota Jawa Barat kemudian dipindah ke Wanayasa, Purwakarta pada 17 Agustus 1948. Saat ibukota Jawa Barat dipindah ke Wanayasa, Oja Soemantri membentuk pemerintahan Jawa Barat dengan nama Pemerintahan Republik Jawa Barat (PRJB). PRJB sendiri adalah suatu republik yang menolak Perjanjian Renville namun masih menyatakan setia pada semangat proklamasi 17 Agustus 1945.[13] Ketika Raden Mas Sewaka menjadi gubernur, ibukota Jawa Barat dipindah dari Wanayasa ke Subang, Kuningan. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga keamanan akibat Agresi Militer Belanda II.
Tanggal 27 Desember 1949 Jawa Barat menjadi Negara Pasundan yang merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB. Jawa Barat kembali bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950.
1. Tari Tradisional: Mempersembahkan Keindahan Gerak dan Musik
Tari tradisional merupakan salah satu warisan budaya yang penting di Jawa Barat. Beberapa tari tradisional yang terkenal di provinsi ini antara lain Tari Jaipong, Tari Topeng Cirebon, dan Tari Ketuk Tilu. Setiap tarian memiliki gerakan yang khas dan diiringi oleh musik tradisional yang menggugah jiwa.
Tari Jaipong adalah tarian yang berasal dari daerah Sunda. Gerakan yang lincah dan energik membuat tarian ini menjadi sangat menarik untuk ditonton. Tari Topeng Cirebon, seperti namanya, menggunakan topeng sebagai atribut utama. Tarian ini menggambarkan cerita-cerita tradisional dan mitos-mitos lokal. Sedangkan Tari Ketuk Tilu adalah tarian yang menggabungkan gerakan tangan, kaki, dan suara ketukan alat musik tradisional.
2. Seni Rupa Budaya Jawa Barat
Jawa Barat juga memiliki kekayaan seni rupa yang luar biasa. Seni rupa tradisional seperti wayang golek, batik, dan ukiran kayu merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya Jawa Barat. Wayang golek adalah seni pertunjukan boneka kayu yang mengisahkan cerita-cerita epik seperti Mahabharata dan Ramayana.
Batik adalah seni kain tradisional yang dihiasi dengan motif-motif indah. Setiap motif batik memiliki makna dan cerita tersendiri. Sedangkan ukiran kayu adalah seni memahat kayu yang menghasilkan karya-karya indah seperti patung, relief, dan hiasan dinding.
3. Kuliner Budaya Jawa Barat
Budaya Jawa Barat juga terkenal dengan kelezatan kuliner tradisionalnya. Salah satu makanan khas yang terkenal adalah nasi timbel. Nasi timbel adalah nasi yang dibungkus daun pisang dan disajikan dengan lauk-pauk seperti ayam goreng, ikan bakar, dan sambal.
Selain nasi timbel, ada juga makanan tradisional lain seperti sate maranggi, karedok, dan surabi. Sate maranggi adalah sate daging sapi yang dimasak dengan bumbu khas. Karedok adalah salad sayur segar yang disajikan dengan bumbu kacang. Sedangkan surabi adalah jajanan tradisional berupa pancake yang diisi dengan gula merah atau kelapa.
Budaya Jawa Barat memiliki keindahan dan keunikan yang tak tergantikan. Dari tari tradisional yang memukau, seni rupa yang menggali kreativitas, hingga kuliner yang menggugah selera, semua itu menjadi bagian dari keajaiban budaya Jawa Barat. Mari kita lestarikan dan hargai warisan budaya ini agar tetap hidup dan berkembang.